Bug Bashing dan Pentingnya Uji Perilaku Model AI
- Mutiara Aisyah
- •
- 12 Apr 2025 22.22 WIB

Ilustrasi Bug Bashing
Setiap sistem perangkat lunak, sesempurna apa pun dirancang, menyimpan potensi kesalahan. Bug muncul diam-diam. Kadang dari baris kode yang luput, kadang dari data yang menyimpang. Di dunia AI, kesalahan ini bisa berwujud lebih kompleks. Bukan cuma soal kode yang gagal dijalankan, tetapi juga model yang salah belajar, lalu membuat keputusan keliru yang berdampak nyata.
Terutama dalam konteks medis, bug bukan sekadar masalah teknis. Ia bisa menjadi titik awal dari diagnosis yang salah, perlakuan yang keliru, bahkan risiko pada keselamatan pasien. Di sinilah bug bashing menemukan perannya sebagai bentuk tanggung jawab kolektif untuk menjaga sistem AI tetap bisa dipercaya.
Bug bashing adalah proses kolaboratif di mana tim dari berbagai latar belakang berkumpul untuk menguji sistem secara menyeluruh. Bukan hanya tim penguji, tetapi juga engineer, data scientist, UX designer, hingga tenaga ahli medis dilibatkan. Tujuannya bukan sekadar menemukan error teknis, tetapi juga mengamati perilaku model dalam konteks yang lebih manusiawi.
Proses ini biasanya dilakukan menjelang rilis atau saat sistem dirasa cukup stabil untuk dieksplorasi lebih dalam. Tapi maknanya lebih dari itu. Ia menjadi forum untuk menantang asumsi, mengajukan pertanyaan, dan menyoroti area-area yang mungkin terabaikan saat proses pengembangan.
Dalam sistem AI, banyak bug tidak datang dari kode yang rusak. Sering kali, kesalahan muncul dari data. Dataset yang bias, distribusi label yang tidak seimbang, atau anotasi yang tidak konsisten bisa menyebabkan model belajar dengan cara yang salah. Model seperti ini bisa tampak "pintar" di permukaan, tetapi menyimpan potensi gagal ketika digunakan di dunia nyata.
Contoh konkret mudah ditemui. Sistem computer vision untuk mendeteksi kanker kulit mungkin bekerja sangat baik pada gambar pasien berkulit terang, tetapi kesulitan mengidentifikasi pola yang sama pada kulit gelap. Masalahnya bukan karena modelnya buruk, melainkan karena datanya tidak mencerminkan keragaman yang sebenarnya.
Inilah mengapa data debugging menjadi bagian penting dari bug bashing. Ia membantu tim melihat kembali kualitas dan representasi data secara kritis, bukan hanya melalui angka akurasi.
Salah satu kekuatan bug bashing terletak pada keragaman perspektif. Setiap orang yang terlibat membawa pertanyaan yang berbeda. Seorang dokter mungkin bertanya, “Apakah hasil ini masuk akal secara klinis?” Seorang UX designer bertanya, “Bagaimana perasaan pengguna saat menerima prediksi seperti ini?” Seorang engineer melihat sisi performa sistem, dan seorang data scientist mencoba memahami apakah perilaku model mencerminkan pelatihannya.
Saat semua perspektif itu digabungkan, muncul gambaran yang lebih lengkap. Bukan hanya soal kinerja teknis, tetapi juga soal kepercayaan dan keamanan dalam penggunaan.
Setelah sesi bug bashing selesai, pekerjaan belum berakhir. Justru di sinilah momen refleksi dimulai. Setiap bug yang ditemukan menjadi bahan belajar. Tim bisa bertanya, mengapa bug ini bisa terjadi, bagaimana bisa lolos dari validasi sebelumnya, dan apa yang bisa diperbaiki untuk ke depan.
Tim yang baik biasanya menyimpan dokumentasi dari sesi ini. Beberapa bahkan membuat retrospektif khusus untuk membahas pola-pola bug yang muncul. Ini bukan soal mencari siapa yang salah, tetapi soal membangun sistem yang lebih sadar dan bertanggung jawab.
Bayangkan sebuah tim yang membangun model AI untuk mendeteksi melanoma dari gambar dermatoskopik. Modelnya mencapai skor akurasi tinggi dan terlihat menjanjikan. Tapi dalam sesi bug bashing, seorang dokter kulit menemukan bahwa model cenderung salah menilai lesi pada kulit berpigmen gelap.
Bug ini tidak terlihat dari angka, tidak muncul di metrik. Tapi dalam praktik, dampaknya besar. Bisa menyebabkan keterlambatan diagnosis. Bisa membuat pasien tidak tertangani tepat waktu.
Dari satu sesi bug bashing, satu keputusan etis bisa diselamatkan.
AI adalah alat yang kuat, tetapi juga rentan. Ia belajar dari dunia yang tidak sempurna, lalu mencoba meniru pola untuk membuat prediksi. Tanpa pengujian yang menyeluruh, tanpa sesi seperti bug bashing, kita tidak akan pernah benar-benar tahu kapan sistem mulai menyimpang.
Maka, penting bagi setiap tim AI, terutama yang bekerja di sektor sensitif seperti kesehatan, untuk menyediakan ruang refleksi dalam siklus pengembangan. Tidak hanya lewat uji otomatis atau validasi metrik, tetapi lewat proses kolaboratif yang melibatkan naluri manusia.
Karena pada akhirnya, AI yang baik bukan hanya tentang akurasi. Tapi tentang rasa aman. Tentang keputusan yang masuk akal. Dan tentang keberanian tim untuk berkata, “Mari kita periksa lagi. Mungkin ada yang kita lewatkan.”