Entropy: Kabut Ketidakpastian dalam Data
- Mutiara Aisyah
- •
- 10 Apr 2025 22.48 WIB

Ilustrasi Entropy
Bayangkan Anda sedang berdiri di sebuah ruangan yang dipenuhi kabut. Bukan gelap gulita, tapi cukup pekat hingga Anda tidak bisa melihat jelas benda-benda di sekitar. Anda tahu di sana ada meja, kursi, bahkan mungkin pintu, tetapi bentuknya samar dan sulit dipastikan. Dalam situasi seperti ini, setiap langkah terasa ragu-ragu, karena Anda tak yakin apa yang akan Anda injak atau tabrak berikutnya. Nah, beginilah kira-kira cara sebuah model kecerdasan buatan melihat data yang memiliki entropy tinggi. Bukan tidak melihat sama sekali, tetapi terlalu banyak ketidakpastian yang memburamkan pola. Pola yang penting ada di sana, tapi butuh ketelitian dan kesabaran luar biasa untuk menemukannya.
Dalam dunia kecerdasan buatan, istilah entropy mengacu pada seberapa tidak terduga isi dari sebuah dataset. Makin tinggi entropy, makin sulit bagi mesin untuk mengenali pola. Ibaratnya seperti mencoba menebak isi tas seseorang yang isinya selalu berubah setiap kali dibuka, tidak ada kepastian, dan tebakan sering meleset. Sebaliknya, jika isi tas selalu sama, mesin bisa belajar dengan cepat. Entropy rendah berarti data memberi sinyal yang lebih jelas dan konsisten. AI bisa belajar lebih percaya diri dan lebih tepat. Tetapi data di dunia nyata jarang rapi seperti itu. Ketika data menunjukkan perilaku yang tidak konsisten, entropy naik dan proses belajar menjadi lebih kompleks.
Mari ambil contoh dari dunia medis. Bayangkan Anda sedang membantu mengembangkan sistem AI untuk rumah sakit. Tujuannya adalah mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit jantung. Sistem ini dilatih menggunakan data seperti usia, tekanan darah, kadar kolesterol, indeks massa tubuh, dan riwayat keluarga. Jika seluruh pasien dengan tekanan darah tinggi dalam data ternyata memang terbukti mengidap penyakit jantung, maka model akan dengan mudah menangkap pola itu. Ini adalah kondisi dengan entropy rendah. Polanya jelas, sistem bisa belajar cepat, dan hasil prediksi menjadi lebih akurat. Tapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu.
Di lapangan, kita justru sering menemukan kasus-kasus yang tidak sesuai harapan. Seorang pria berusia 35 tahun dengan tekanan darah normal dan gaya hidup sehat tiba-tiba mengalami serangan jantung. Sementara seorang perempuan berusia 65 tahun dengan tekanan darah tinggi justru tetap sehat hingga lanjut usia. Ketika pengecualian-pengecualian ini muncul dalam jumlah besar dalam dataset, model mulai kehilangan kepercayaan diri. Ia menjadi ragu untuk menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan satu atau dua variabel. Ia harus mulai melihat interaksi antar faktor, menimbang kombinasi yang lebih kompleks, dan bersiap menghadapi hasil yang tidak selalu bisa diprediksi. Di sinilah entropy mulai memainkan peran penting: sebagai pengingat bahwa dunia tidak selalu berlogika linear.
Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di dunia medis. Di sektor keuangan, misalnya, bank menggunakan AI untuk memperkirakan kemungkinan seseorang gagal bayar pinjaman. Data yang dipakai bisa mencakup penghasilan bulanan, pekerjaan, riwayat kredit, pengeluaran rutin, dan jumlah tanggungan. Bila sebagian besar orang dengan riwayat kredit buruk memang terbukti gagal bayar, sistem akan dengan mudah belajar. Tapi bayangkan jika banyak orang dengan riwayat kredit buruk justru melunasi pinjaman mereka, atau sebaliknya, orang dengan skor kredit tinggi tiba-tiba gagal bayar. Situasi ini menciptakan ambiguitas. Model tidak bisa lagi mengandalkan satu atau dua indikator saja. Entropy meningkat, dan sistem harus lebih hati-hati dalam menarik kesimpulan.
Yang menarik, entropy bukanlah masalah yang harus disingkirkan. Justru sebaliknya, ia adalah sinyal yang sangat berguna. Ia memberi tahu kita bahwa data masih menyimpan sesuatu yang belum terlihat dengan jelas. Bagi para ilmuwan data, entropy bisa menjadi penanda bahwa model perlu mengeksplorasi lebih dalam. Sebuah model yang hanya dilatih dari data berentropy rendah memang bisa terlihat hebat di atas kertas, tetapi biasanya lemah saat diterapkan di dunia nyata. Ketika dihadapkan dengan data yang lebih rumit dan penuh pengecualian, model seperti itu akan goyah. Oleh karena itu, data yang “berisik” dan tidak konsisten justru memberikan peluang bagi model untuk belajar lebih dalam, lebih realistis, dan lebih adaptif terhadap ketidakpastian dunia nyata.
Bayangkan seorang guru yang hanya mengajar murid-murid pintar dengan nilai sempurna. Ia mungkin tampak hebat, tetapi belum tentu sanggup mengajar murid dengan latar belakang beragam. Hal serupa berlaku pada model AI. Jika model hanya dilatih dari data yang "bersih" dan mudah dibaca, ia tidak akan mampu memahami situasi yang lebih rumit. Sebaliknya, dengan belajar dari data berentropy tinggi, model jadi lebih tangguh. Ia belajar menghadapi keraguan, mengolah ambiguitas, dan menyusun keputusan berdasarkan kemungkinan, bukan kepastian mutlak. Dan itu lebih mencerminkan cara kerja otak manusia, bukan?
Jadi, entropy bukanlah kabut yang harus dijauhi. Ia justru cermin dari kenyataan bahwa hidup tidak selalu hitam-putih. Entropy membantu sistem AI mengembangkan nuansa dalam berpikir. Dengan mengenali bahwa tidak semua pola bisa ditebak sejak awal, model jadi lebih bijak dalam menyusun strategi prediksi. Di dunia yang terus berubah, kemampuan untuk belajar dari ketidakpastian bukan sekadar kelebihan. Ia adalah kebutuhan. Karena pada akhirnya, kecerdasan buatan yang baik bukan hanya soal kecepatan memproses data, tetapi juga kemampuannya untuk memahami bahwa di balik setiap angka, ada cerita, ada konteks, dan ada kemungkinan yang tidak bisa dilihat secara instan.