Australia Larang Remaja Main Medsos, Mungkinkah di Indonesia?
- Rita Puspita Sari
- •
- 15 Des 2024 17.42 WIB
Australia baru saja meluncurkan undang-undang baru yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun untuk menggunakan media sosial. Langkah ini mencakup platform populer seperti TikTok, Instagram, X (sebelumnya Twitter), dan Snapchat. Kebijakan ini bertujuan melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial, seperti kecanduan layar, cyberbullying, pedofilia, dan tekanan sosial yang dapat menghambat pertumbuhan mereka secara optimal. Namun, bagaimana jika aturan serupa diterapkan di Indonesia?
Manfaat Kebijakan di Indonesia
Psikolog klinis Ratih Ibrahim mengungkapkan bahwa kebijakan seperti ini dapat memberikan dampak positif jika diterapkan di Indonesia. Menurutnya, pembatasan media sosial bagi anak-anak usia 16 tahun ke bawah dapat membantu mereka menjalani masa kecil yang lebih sehat. Anak-anak dapat fokus pada aktivitas fisik seperti bermain di luar, bersosialisasi dengan teman sebaya, berolahraga, hingga mengeksplorasi lingkungan sekitar.
"Anak-anak usia 16 tahun seharusnya masih banyak bermain, seperti lari-lari, main hujan, berenang, atau bermain bola. Ini penting untuk perkembangan fisik, emosional, dan sosial mereka," ujar Ratih.
Selain itu, kebijakan ini juga mendukung nilai-nilai tradisional Indonesia, di mana masa kecil diisi dengan pengalaman langsung tanpa terlalu bergantung pada teknologi. Tanpa media sosial, anak-anak lebih terlindungi dari ancaman seperti pedofilia dan cyberbullying yang sering kali mengintai pengguna muda di platform online.
Tantangan Penerapan di Indonesia
Meski terdengar ideal, penerapan kebijakan ini di Indonesia bukan tanpa tantangan. Ratih menyoroti bahwa budaya dan kondisi masyarakat Indonesia berbeda dengan Australia. Di Indonesia, bahkan remaja di atas 16 tahun masih banyak yang bergantung pada orang tua, sehingga batas usia harus disesuaikan dengan konteks lokal.
“Tidak bisa mentah-mentah mengambil aturan di luar negeri dan langsung diterapkan di sini. Perlu penyesuaian dengan budaya dan realita di Indonesia,” jelasnya.
Tantangan lainnya adalah pengawasan dan penegakan aturan. Di era digital, anak-anak dengan mudah dapat membuat akun palsu menggunakan data fiktif. Ironisnya, banyak orang tua sendiri yang membuatkan akun media sosial untuk anak mereka, bahkan sejak bayi, dengan alasan ingin menyimpan kenangan berupa foto-foto.
“Orang tua sering kali membuat akun media sosial untuk anaknya yang masih bayi, lalu akunnya dikunci. Ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap anak-anak masih menjadi pekerjaan rumah,” ungkap Ratih.
Selain itu, sistem hukum di Indonesia belum memiliki mekanisme yang memadai untuk menegakkan aturan ini. Jika aturan seperti ini diterapkan, pertanyaannya adalah bagaimana pengawasan dilakukan? Apa sanksi yang akan diberikan kepada pelanggar? Tanpa sistem yang jelas, aturan ini hanya berisiko menjadi kebijakan yang tidak dipatuhi.
Skeptisisme terhadap Efektivitas Kebijakan
Ratih sendiri merasa skeptis bahwa kebijakan seperti ini dapat diterapkan secara efektif di Indonesia. Menurutnya, meski aturan tersebut diberlakukan, kemungkinan besar masyarakat akan mencari celah untuk menghindarinya.
"Melihat kasus larangan TikTok sebelumnya, meski sudah dilarang, banyak pengguna tetap melanggarnya. Kreativitas masyarakat kita dalam mencari celah sangat tinggi. Jadi, aturan ini kemungkinan besar hanya akan diabaikan," ujarnya.
Menurut Ratih, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada penerapan aturan, tetapi juga pada edukasi kepada masyarakat tentang dampak negatif media sosial. Tanpa pemahaman yang memadai, aturan ini hanya akan menjadi formalitas tanpa implementasi nyata.
Pendekatan yang Dibutuhkan
Jika kebijakan ini ingin diterapkan di Indonesia, pemerintah perlu mengambil pendekatan yang komprehensif. Edukasi tentang dampak negatif media sosial harus dimulai dari tingkat keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas. Orang tua juga harus dilibatkan secara aktif untuk memastikan anak-anak mereka memahami manfaat dan risiko dari penggunaan media sosial.
Selain itu, perlu adanya kerja sama antara pemerintah, platform media sosial, dan penyedia layanan internet untuk memastikan aturan ini dapat diterapkan dengan efektif. Misalnya, platform media sosial dapat diberi tanggung jawab lebih besar dalam memverifikasi usia pengguna, sementara pemerintah mengawasi pelaksanaannya.
Kebijakan pelarangan media sosial bagi anak-anak di bawah usia 16 tahun yang diterapkan di Australia merupakan langkah positif untuk melindungi generasi muda dari dampak negatif teknologi. Namun, penerapannya di Indonesia memerlukan pertimbangan yang matang, mulai dari penyesuaian dengan budaya lokal hingga pengawasan yang ketat. Tanpa mekanisme yang jelas dan edukasi yang memadai, kebijakan seperti ini berisiko menjadi aturan yang diabaikan oleh masyarakat.
Pemerintah, orang tua, dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak-anak secara optimal, baik dengan maupun tanpa media sosial.