Google Terancam Dipaksa Melepas Android dan Chrome


Google

Google

Pada awal Agustus, Google dinyatakan bersalah oleh Hakim Federal Amit Mehta dari Pengadilan Distrik Columbia dalam kasus gugatan monopoli terkait bisnis mesin pencari. Gugatan ini, yang diajukan oleh Departemen Kehakiman AS bersama beberapa koalisi negara bagian pada tahun 2020, kini memicu pemeriksaan lebih lanjut oleh Departemen Kehakiman mengenai opsi penyelesaian.

Salah satu opsi paling drastis yang sedang dipertimbangkan adalah memaksa Google untuk mendivestasikan bisnis intinya, menurut sumber yang akrab dengan masalah ini sebagaimana dilaporkan oleh Bloomberg. Jika rencana pemisahan ini diteruskan, unit yang dianggap paling mungkin untuk diambil alih adalah sistem operasi Android dan peramban web Google Chrome, menurut sumber anonim.

Sumber tersebut menyatakan bahwa divestasi terhadap sistem operasi Android, yang kini digunakan oleh sekitar 2,5 miliar perangkat di seluruh dunia, merupakan salah satu langkah hukum yang sering dibahas oleh pengacara Departemen Kehakiman. Hakim Mehta mencatat bahwa Google mengharuskan produsen perangkat menandatangani perjanjian untuk mendapatkan akses ke aplikasi-aplikasinya, seperti Gmail dan Google Play Store.

Perjanjian tersebut mewajibkan pemasangan widget pencarian Google dan browser Chrome pada perangkat secara permanen, sehingga menghalangi pesaing untuk memperkenalkan mesin pencari alternatif. Selain itu, terkait dengan browser Chrome, Google dikabarkan menjalin kerjasama senilai hingga 26 miliar dolar AS dengan pengembang browser dan produsen ponsel seperti Apple, Samsung, dan Mozilla. Sebagian besar, sekitar 20 miliar dolar AS, dialokasikan untuk Apple Inc.

Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menetapkan Google Search sebagai mesin pencari default pada browser dan perangkat seluler. Dengan adanya kesepakatan ini, Google dapat mengamankan akses terhadap data pengguna dalam jumlah besar, yang sangat penting dalam mempertahankan dominasi dan kekuasaan mereka di pasar. Berkat posisinya sebagai browser default, Google menguasai hampir 90 persen pangsa pasar pencarian umum, jauh melampaui pesaing terdekatnya, Bing.

 

Divestasi Bisnis Iklan

Sekitar dua pertiga dari total pendapatan Google berasal dari iklan pencarian, yang menurut kesaksian di persidangan tahun lalu, mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS pada tahun 2020.

Departemen Kehakiman AS sedang mempertimbangkan untuk memaksa penjualan platform AdWords yang digunakan Google untuk menjual iklan berbasis teks. Putusan Hakim Mehta mengindikasikan bahwa Google telah memonopoli iklan yang muncul di bagian atas halaman hasil pencarian, menarik pengguna ke situs web melalui iklan teks pencarian.

Iklan ini dijual melalui Google Ads, yang sebelumnya dikenal sebagai AdWords hingga berganti nama pada tahun 2018. Platform ini memungkinkan pemasar menjalankan iklan berdasarkan kata kunci pencarian tertentu yang relevan dengan bisnis mereka. Menurut sumber yang berwenang, jika Departemen Kehakiman tidak mendorong penjualan AdWords, mereka mungkin akan menetapkan persyaratan interoperabilitas agar platform tersebut dapat berfungsi dengan baik di mesin pencari lainnya.

 

Apakah Google Akan Dipaksa Berbagi Akses Data?

Putusan Hakim Mehta juga menemukan bahwa kontrak eksklusif Google sebagai browser default memungkinkan perusahaan ini mengumpulkan data pengguna dalam jumlah yang jauh lebih besar sekitar 16 kali lipat dibandingkan pesaing terdekatnya. Hal ini tidak hanya memperkuat posisi dominan Google tetapi juga menghambat kemampuan pesaing untuk meningkatkan hasil pencarian mereka dan bersaing secara efektif.

Temuan ini menimbulkan spekulasi bahwa Departemen Kehakiman berencana memaksa Google untuk berbagi atau melisensikan lebih banyak data kepada pesaingnya seperti Bing dari Microsoft atau DuckDuckGo.

Sebelumnya, Departemen Kehakiman AS telah mengambil langkah serupa terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan praktik monopoli, mewajibkan mereka memberikan akses kepada kompetitor terhadap teknologi yang mereka miliki. Contohnya, dalam kasus Departemen Kehakiman melawan AT&T pada tahun 1956, perusahaan tersebut diharuskan memberikan lisensi bebas royalti untuk paten-patennya.

Begitu pula dalam kasus antimonopoli terhadap Microsoft, di mana perusahaan tersebut diharuskan menyediakan sebagian antarmuka pemrograman aplikasi (API) secara gratis kepada pihak ketiga. API ini penting untuk memastikan program perangkat lunak dapat berkomunikasi dan bertukar data secara efektif.

Di Eropa, aturan baru yang dikenal sebagai The Digital Markets Act juga mengharuskan Google untuk menyediakan sebagian datanya kepada mesin pencari pihak ketiga.

Perusahaan yang berbasis di Mountain View, California, telah secara terbuka menyatakan bahwa berbagi data bisa berpotensi menimbulkan masalah privasi bagi penggunanya. Oleh karena itu, mereka hanya akan memberikan informasi tentang pencarian yang memenuhi kriteria tertentu, sebagaimana dilaporkan oleh KompasTekno melalui YahooNews pada Jumat (16/8/2024).

 

Google Mengajukan Banding

Putusan ini tampaknya tidak akan diterima begitu saja oleh Google. Kent Walker, Presiden Global Affairs Google, menyatakan bahwa perusahaan ini berencana untuk mengajukan banding terhadap keputusan tersebut.

Menurut prediksi George Hay, seorang profesor hukum di Universitas Cornell, proses banding ini bisa berlangsung hingga lima tahun. Meski demikian, risiko pemisahan perusahaan teknologi besar ini tetap ada, mencerminkan upaya pemerintah AS untuk meningkatkan pengawasan serta mendorong persaingan yang adil dalam industri teknologi.

Sidang antimonopoli terkait Google ini diakui sebagai salah satu yang paling signifikan di AS dalam 25 tahun terakhir, menyusul sidang antimonopoli yang melibatkan Microsoft pada tahun 1990. Saat itu, Departemen Kehakiman menargetkan Microsoft dengan gugatan antimonopoli atas tuduhan penyalahgunaan dominasi sistem operasi Windows dalam mengandalkan perangkat lunaknya dan menghambat persaingan.


Bagikan artikel ini

Video Terkait